Tuesday, June 7, 2016

Administrasi Publik

GOOD GOVERNANCE-META GOVERNANCE
Perspektif Perubahan Hubungan Negara dan Masyarakat

John Dalberg-Acton sejarahwan, politikus dan penulis asal Inggris pada tahun 1887 mengemukakan kalimat yang sangat terkenal yang berbunyi "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men” yang menjelaskan bahwa kekuasaan cenderung akan korup dan kekuasaan absolut akan secara absolut pula untuk korup. Kalimat sederhana ini menegaskan kepada kita bahwa kekuasaan tidak boleh diberikan secara absolut karena akan cenderung untuk melakukan tindakan-tindakan penggunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi.
Berbagai konsep dan teori juga telah banyak dikemukakan oleh para ahli negara dan politik untuk membatasi kekuasaan agar tidak terjadi keabsolutan. Administrasi publik mengalami perkembangan paradigma secara dinamis. Diawali dengan Old Public Administration, di mana terjadi dikotomi locus dan fokus, dan masih kental orientasinya dengan government. OPA pada perkembangannya bergeser menjadi paradigma baru, yaitu  New Public  Management.
New Public Management (NPM) yang diperkenalkan oleh Christopher  Hood pada tahun 1991. New Public Management adalah suatu sistem manajemen desentral dengan perangkat-perangkat manajemen baru seperti controlling, benchmarking dan lean management. NPM dipahami sebagai privatisasi sejauh mungkin atas aktivitas pemerintah. NPM secara umum dipandang sebagai suatu pendekatan dalam administrasi publik yang menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dalam dunia manajemen bisnis dan disiplin yang lain untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas kinerja pelayanan publik pada birokrasi modern. Inti dari teori NPM ini adalah melalukan pembatasan peran pemerintah yang dinilai tidak efektif dan efisien, birokrasi bersifat kaku dan pembengkakan anggaran pemerintah serta rendahnya mutu kinerja pemerintah. Salah satu upaya yang disarankan dalam NPM ini adalah pemberlakuan mekanisme pasar dengan jalan privatisasi.
Dalam implementasi NPM tersebut juga mengalami pro dan kontra terhadap manajerialisme yang terjadi pada organisasi sektor publik. Pihak yang mendukung memandang NPM menawarkan suatu cara baru dalam mengelola organisasi sektor publik dengan membawa fungsi-fungsi manajemen sektor swasta ke dalam sektor publik. Sementara itu, Pihak penentang NPM mengkritik bahwa pengadopsian prinsip-prinsip manajemen sektor swasta ke dalam sektor publik tersebut merupakan adopsi yang tidak kritis. Tidak semua praktik manajemen sektor swasta baik. Jika sektor publik mengadopsi praktik manajemen sektor swasta maka hal itu juga berarti mengadopsi keburukan di sektor swasta ke dalam sektor publik. Selain itu, pengadopsian itu juga mengabaikan perbedaan yang fundamental antara organisasi sektor publik dengan sektor swasta. Manajerialisme menurut mereka yang kontra bertentangan dengan prinsip demokrasi. Kritik dari pendukung administrasi publik menyatakan bahwa hal-hal baik yang terdapat dalam model lama, seperti: standar etika yang tinggi dan pelayanan kepada warga negara menjadi dikesampingkan apabila sektor publik mengadopsi prinsip manajerialisme. Manajerialisme juga dicurigai sebagai bentuk kapitalisme yang masuk ke sektor public oleh karena itu teori ini juga dikenal sebagai salah satu teori neo-liberalisme.
Untuk menjawab kritik terhadap teori New Public Management, munculah konsep good governance.

GOOD GOVERNANCE
Good governance diterjemahkan sebagai tata pemerintahan yang baik merupakan tema umum kajian yang populer, baik di pemerintahan, civil society maupun di dunia swasta. Kepopulerannya adalah akibat semakin kompleksnya permasalahan, seolah menegaskan tidak adanya iklim pemerintahan yang baik. Good governance dipromosikan oleh World Bank untuk menciptakan tatanan pemerintahan yang sehat. Pemahaman pemerintah tentang good governance berbeda-beda, namun setidaknya sebagian besar dari mereka membayangkan bahwa dengan good governance mereka akan dapat memiliki kualitas pemerintahan yang lebih baik. Banyak di antara mereka membayangkan bahwa dengan memiliki praktik good governance yang lebih baik, maka kualitas pelayanan publik menjadi semakin baik, angka korupsi menjadi semakin rendah, dan pemerintah menjadi semakin peduli dengan kepentingan warga.
Tata laksana pemerintahan yang baik ini dapat dipahami dengan memberlakukan delapan karakteristik dasarnya yaitu:
1.    Akuntabilitas (Accountability), meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat.
2.    Pengawasan (Controlling), meningkatkan upaya pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengusahakan keterlibatan swasta dan masyarakat luas.
3.    Daya Tanggap (Responsiveness), meningkatkan kepekaan para penyelenggaraan pemerintahan terhadap aspirasi masyarakat tanpa kecuali.
4.    Profesionalisme (Professional), Meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggaraan pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya terjangkau.
5.    Efisiensi & Efektivitas (Effectiveness & Efficient), menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal & bertanggung jawab.
6.    Transparansi (Transparancy), menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan didalam memperoleh informasi.
7.    Kesetaraan (Equality), memberi peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya.
8.    Wawasan ke depan (Strategic Vision), membangun daerah berdasarkan visi dan strategis yang jelas, mengikuti-sertakan warga dalam seluruh proses pembangunan, sehingga warga merasa memiliki dan ikut bertanggungjawab terhadap kemajuan daerahnya.
9.    Partisipasi (Participation), mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung mapun tidak langsung.
10.  Penegakan hukum (Rule of Law), mewujudkan penegakan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Dengan demikian, pada dasarnya unsur-unsur dalam pemerintahan dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu:

1.    Negara/Pemerintah
Konsepsi pemerintahan pada dasarnya adalah kegiatan kenegaraan, tetapi lebih jauh dari itu melibatkan pula sektor swasta dan kelembagaan masyarakat madani.
2.    Sektor Swasta
Pelaku sektor swasta menangkup perusahaan swasta yang aktif dalam interaksi dalam sistem pasar, seperti: industri pengolahan perdagangan, perbankan dan koperasi termasuk kegiatan sektor informal.
3.    Masyarakat Madani
Kelompok masyarakat dalam konteks kenegaraan pada dasarnya berada diantara atau ditengah-tengah antara pemerintah dan perseorangan, yang mencangkup baik perseorangan maupun kelompok masyarakat yang berinteraksi secara sosial, politik dan ekonomi.
Dalam konsep good governance hubungan ketiga pilar unsur-unsur pemerintahan tersebut harus saling terkait dan terkoordinasi dengan baik, karena setiap unsur memiliki peranan yang sama penting dan saling mempengaruhi (share of responsibilities) sehingga menciptakan sinergi dalam pola hubungan tersebut. Perbedaan paling pokok antara konsep government dan governance terletak pada bagaimana cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi dalam pengelolaan urusan suatu bangsa. Konsep pemerintahan selama ini dipandang bahwa peranan pemerintah yang lebih dominan dalam penyelenggaran berbagai otoritas pemerintahan. Sedangkan dalam konteks governance mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan dan mengelola sumberdaya serta berbagai masalah yang dihadapi masyarakat dengan melibatkan semua unsur pemerintahan. Dengan kata lain, dalam konsep governance terkandung unsur demokratis, adil, transparan, rule of law, partisipasi dan kemitraan. Definisi good governance yang dikemukakan oleh IIAS adalah yang paling tepat meng-capture makna tersebut yakni “the process whereby elements in society wield power and authority, and influence and enact policies and decisions concerning public life, economic and social development”. Maksud dari kalimat tersebut adalah proses dimana berbagai unsur dalam masyarakat menggalang kekuatan dan otoritas, dan mempengaruhi dan mengesahkan kebijakan dan keputusan tentang kehidupan publik, serta pembangunan ekonomi dan sosial.
Sejalan dengan prinsip demokrasi, partisipasi masyarakat merupakan salah satu tujuan dari implementasi Good governance. Keterlibatan masyarakat dalam proses pengolahan lembaga pemerintahan pada akhirnya akan melahirkan kontrol sosial masyarakat terhadap jalannya pengelolaan lembaga pemerintahan. Kontrol masyarakat akan berdampak pada tata pemerintahan yang baik dan bersih berdasarkan prinsip-prinsip pokok Good governance, setidaknya dapat dilakukan melalui pelaksanaan prioritas program, yakni:
1.    Penguatan fungsi dan peran lembaga perwakilan. Pengaturan peran lembaga perwakilan rakyat, MPR, DPR, dan DPRD, mutlak dilakukan dalam rangka peningkatan fungsi mereka sebagai pengontrol jalannya pemerintahan. Selain melalukan check and balance, lembaga legislative harus pula mampu menyerap dan mengartikulasikan aspirasi masyarakat dalam bentuk usulan pembangunan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat kepada lembaga eksekutif.
2.    Kemandirian lembaga peradilan. Untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa berdasarkan prinsip Good governance peningkatan profesionalitas aparat penegak hukum dan kemandirian lembaga peradilan mutlak dilakukan. Akuntabilitas aparat penegak hukum dan lembaga yudikatif merupakan pilar yang menentukan dalam penegakkan hukum dan keadilan
3.    Profesionalitas dan integritas aparatur pemerintah. Perubahan paradigma aparatur negara dari birokrasi populis (pelayan masyarakat) harus dibarengi dengan peningkatan profesionalitas dan integritas moral jajaran birokrasi pemerintah. Akuntabilitas jajaran birokrasi akan berdampak pada naiknya akuntabilitas dan legitimasi birokrasi itu sendiri. Aparatur birokrasi yang mempunyai karakter tersebut dapat bersinergi dengan pelayanan birokrasi secara cepat, efektif, dan berkualitas.
4.    Penguatan partisipasi Masayarakat Madani (Civil Society). Peningkatan partisipasi masyarakat adalah unsure penting lainnya dalam merealisasikan pemerintah yang bersih dan berwibawa. Partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan publik mutlak dilakukan dan di fasilitasi oleh negara (pemerintah). Peran aktif masyarakat dalam proses kebijakan publik pada dasarnya dijamin oleh prinsip-prinsip HAM. Masyarakat mempunyai hak atas informasi, hak untuk menyampaikan usulan, dan hak untuk melakukan kritik terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Kritik dapat dilakukan melalui lembaga-lembaga perwakilan, pers, maupun dilakukan secara langsung lewat dialog-dialog terbuka dengan jajaran birokrasi bersama LSM, partai politik, maupun organisasi sosial lainnya.
  1. Peningkatan kesejahteraan rakyat dalam rangka otonomi daerah. Untuk merealisasikan prinsip-prinsip Good Governance, kebijakan otonomi daerah dapat dijadikan sebagai media transformasi perwujudan model pemerintahan yang menopang tumbuhnya kultur demokrasi di Indonesia. Lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah memberikan kewenangan pada daerah untuk melakukan pengelolaan dan memajukan masyarakat dalam politik, ekonomi, sosial, dan budaya dalam kerangka menjaga keutuhan NKRI. Dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, pencapaian tingkat kesejahteraan dapat diwujudkan secara lebih cepat yang pada akhirnya akan mendorong kemandirian masyarakat

Keseluruhan perilaku para anggota birokrasi tercermin pada pelayanan pada seluruh masyarakat. Karena penerapan prinsip fungsionalisasi, spesialisasi dan pembagian tugas, sudah barang tentu menjadi bagian masyarakat suatu institusi tertentu. Prinsip pelayanan yang harus di berikan kepada rakyat atau masyarakat oleh birokrat adalah pelayanan yang bersifat adil, cepat, ramah, tanpa diskriminasi dan tanpa pilih kasih.
Tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih dapat di katakan baik apabila sistem pelayanannya yang baik sehingga menghasilkan produk pelayanan yang maksimal. Standar tata kelola pelayanan yang baik dan bersih sangat di tentukan pemberian  layanan publik yang lebih profesional dan efektif, efisien, sederhana, transparan, tepat waktu, responsif dan adaptif, dan sekaligus dapat membangun kualitas individu dalam arti menigkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif  masa depannya. Responsif, kemauan untuk membantu konsumen bertanggung jawab terhadap mutu layanan yang diberikan,kompeten tuntutan yang dimiliki, pengetahuan dan keterampilan yang baik oleh aparatur dalam memberikan layanan. Pelayanan publik (public services) merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur Negara sebagai abdi masyarakat dan abdi negara. Pelayanan publik oleh birokrasi publik tadi adalah merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur Negara sebagai abdi masyarakat dan abdi Negara. Pelayanan publik oleh birokrasi publik dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat (warga Negara) dari suatu Negara kesejahteraan (welfare state). Tujuan dari good governance adalah mewujudkan pendidikan politik kepada masyrakat (demokrasi), menciptakan sistem pelayanan yang efesien, efektif dan akuntabilitas.
META GOVERNANCE
Meta governance suatu konsep yang berkembang seiring dengan perkembangan teori good governance. Meta Governance merupakan teori yang berseberangan dengan teori neo liberalisme. Konsep neo liberal tersebut mendefinisikan secara tegas akan pemisahan ranah negara, pasar dan masyarakat. Pembagian ranah tesebut telah menfasilitasi pasar sebagai pemegang kekuasaan terbesar, sementara kapasitas negara mengalami pelemahan dan masyarakat dan masyarakat diposisikan sebagai konsumen dalam logika pasar tersebut. Urusan-urusan publik dikelola dengan semangat pasar dan akibatnya pelayanan urusan publik pun hanya diakses oleh mereka yang menitik berartkan kekuatan untuk bertransaksi dengan pasar.
Metagovernance (Meuleman, 2008) is a means by which to produce some degree of coordinated governance, by designing and managing sound combinations of hierarchical, market and network governance, to achieve the best possible outcomes from the viewpoint of those responsible for the performance of public-sector organisations: public managers as ‘metagovernors’.  Meta governance dianggap sebagai suatu alat untuk menghasilkan pemerintahan yang terkoordinasi dengan cara melakukan manajemen dan desain kombinasi dari hirarki, pasar dan jaringan pemerintah untuk mencapai outcome terbaik dari kinerja organisasi sektor publik. Tujuan dari meta governance sendiri antara lain adalah:
a.    Bertujuan untuk menyelesaikan masalah-masalah publik kolektif
b.    Bukan untuk kepentingan/keuntungan individu akan tetapi kepentingan bersama
c.    Mendorong dan menciptakan kelompok sosial yang berfungsi dengan baik.
Meta Governance dikenal sebagai teori “governance of governance”, dimana kata meta sendiri berarti “beyond” jadi meta governance diartikan sebagai pemerintahan yang melebihi governance. Koordinasi ketiga unsur penting dari meta governance inilah yang menjadi kunci keberhasilan konsep ini. Adapun karakteristik dari ketiga unsur tersebut adalah sebagai berikut:
Implementasi Meta Governance
1.    Pemerintah Hirarkhis (Hierarchical Governance)
Merupakan seluruh aktivitas aktor politik, sosial & administrasi sebagai sebuah upaya dengan tujuan tertentu untuk memandu, mengarahkan, mengontrol dan mengelola seluruh segi dan sektor kehidupan masyarakat. Kata kunci governingadalah memandu (guide), mengarahkan (steering), mengontrol (control) dan mengelola (manage). Dari empat kata kunci (mengontrol, mengarahkan, memandu dan mengelola), makna yang kemudian muncul adalah adanya arogansi actor terhadap masyarakat. Inilah hal (terutama kontrol dan steering karena control dan steering justru dianggap berpotensi mematikan proses pemberdayaan dan kemandirian sosial. Control dan steering dianggap wujud arogansi actor (pemerintah) yang seolah-olah memiliki hak legitimate untuk mengatur sepenuhnya masyarakat. Dalam konsep meta governance diperlukan perubahan paradigma peran pemerintah yang dulunya sentral mengatur segala aspek kehidupan warga negaranya, kini bergeser sebagai penentu aturan main (setting rule of the game) dan mengatur koordinasi hubungan pasar dan kelompok sosial, serta menjadi penengah jika terjadi konflik antara sosial group tersebut. Meta governance tidak berarti melemahkan eksekutif melainkan meredefenisikan posisi kekuatan eksekutif dalam new regulatory state. eksekutif kemudian menjalankan apa yang di sebut sebagai governance of governance. karakter model relational diantaranya;
a.    Keterlibatan publik yang luas dalam governance, misalnya civil society dan jaringan kebijakan global.
b.    Melampaui batas negara ala weberian dan westphalian yang melihat sovereignty of state sebagai kekuatan absolut dan,
c.    Transformasi governance ke dalam meta governance yang ditandai dengan keterlibatan, legitimasi dan monitoring berbagai  sumberdaya governance (actor) dan pengaturan.
2.    Mekanisme Pasar (Market)
Mekanisme pasar yang menjadi tujuan dari NPM mengutamakan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik. Ketika negara mengendalikan (memonopoli) seluruh sector pelayanan publik, tidak ada mekanisme kontestasi yang membuat arah pelayanan bersaing menjadi lebih baik. Berbeda halnya ketika bidang-bidang pelayanan ini di-share ke institusi privat, akan muncul hukum persaingan yang mengarah pada pelayanan yang lebih baik. Karena kredibilitas institusi privat penyelenggara layanan public ini dipertaruhkan di depan khalayak (penerima layanan), jika ada ketidakberesan, sewaktu-waktu public bisa menggugat dan hak institusi privat menyelenggarakan layanan public bisa dicabut dan berpindah ke institusi privat yang lain. Masyarakat/publik tak hanya sebatas civil (warga negara), akan tetapi sekaligus  menjadi customer (konsumen) yang berhak  mendapatkan pelayanan terbaik dari penyelenggara layanan. Asumsinya, jika tiap-tiap penyelenggara layanan public berlomba-lomba memperbaiki kualitas layanan kepada masyarakat, maka dengan sendirinya standart pelayanan dan kepuasan masyarakat akan meningkat. Ini sejalan dengan prinsip liberalism yang mengagungkan mekanisme persaingan terbuka, bahkan dalam segenap sector publik.
Dalam konsep meta governance berasumsi dengan prinsip market-oriented public service, warga Negara diasumsikan ada dalam kondisi egaliter, sehingga Negara tak perlu terlalu banyak campur tangan dalam upaya melayani public akan tetapi hanya menyiapkan peraturan dan aturan mainnya saja.
3.    Jaringan Pemerintah (Network Governance)
Terjadinya transformasi besar dalam memahami sistem politik dan pemerintahan dari konsep government yang terorganisasi secara hirarkis dengan sistem kesatuan yang dilengkapi perangkat hukum, peraturan dan tata tertib menuju governance yang lebih horizontal dengan jaringan pengaturan yang madiri (self-regulating network). Transformasi tersebut terjadi dikarenakan, meningkatnya peran lembaga politik internasional, teknik administrasi baru yang mendukung pengaturan sendiri (self-regulating) yang terlembaga dalam sistem politik dan kerjasama yang insentif antara pemegang otoritas publik dan actor private baik sebagai pasar maupun civil society.
Dalam beberapa hal network governance (NG) telah menghadirkan tantangan terhadap demokrasi liberal. Pertama, NG memandang rakyat bukan sesuatu yang given, namun merupakan hasil dari proses politik. Kedua, NG menghadirkan kritik terhadap model perwakilan. Konsep perwakilan hakekatnya bukanlah cermin masyarakat, tetapi dia adalah bagian ’masyarakat yang lain’. Hal ini merujuk pada pandangan elitisme perwakilan, partikularisme perwakilan dan perwakilan terbatas. NG juga mempertanyakan karakter otonom dari konsep perwakilan. Untuk itu NG menawarkan model partisipasi politik memberikan yang memberikan hak legitimasi kepada para aktor untuk merekontruksi indentitas yang diwakilinya dan membuat keputusan politik yang merujuk kepada indentitas kelompok yang diwakilinya. Meskipun mengajukan kritik terhadap governance yang berbasis pada logika pasar dan persaingan bebas, namum NG masih memberi ruang bagi logika tersebut dengan catatan harus tersedia akses bagi citizen yang memadai.
Ketiga,NG memandang administrasi tidak harus a-politis, karena pada kenyataannya sebenarnya administrasi memiliki pengaruh besar dalam proses policy, karena keterlibatannya yang langsung dan bahkan menentukan. Bahkan Lennart Lundquit (2000) memandang administrator publik memainkan fungsi sebagai catalist bagi proses kebijakan yang demokratis. Sedangkan politisi berada pada posisi mewakili kepentingan pemilih yang beragam. Persoalannya kemudian adalah bagaimana mengkonseptualisasikan dan melembagakan peran co-produser administrasi dalam proses interaksi kekuasaan ini. Keempat, NG melihat sistem politik dan sistem sosial tidak harus separated karena pada dasarnya saling mendukung dalam membangun persamaan/keadilan politik dalam masyarakat plural. kapasitas sosial masyarakat bisa dikembangkan dengan dukungan akses (endowment) dan pemberdayaan (empowerment).Social capacity can be improved with endowment and empowerment. Untuk lebih jelasnya pola hubungan dalam meta governance digambarkan sebagai berikut:

Bibliography

Bevir, M. (2011). The SAGE Handbook of Governance. London: SAGE Publication.
Meuleman, L. (2008). Public Management and the Metagovernance of Hierarchies, Network and Market. Berlin: Springer Berlin Heidelberg.
Pierre, J., & Peters, B. G. (2005). Governing Complex Societies, Trajectories and Scenarios. New York: Palgrave Macmillan.



No comments:

Post a Comment